Sungguh kita
tak pernah menyangka dugaan dan kejutan yang dihidangkan buah hati. Banyak hal
baru, sering kali memantik haru dan tawa, serta mengentak ruang jiwa kita.
“Dedek, angun. Colat-colat,” tutur Tsaqiif (2) pada
adiknya, Zhaafir, yang usianya terpaut setahun. Bagi saya dan istri, ajakan
shalat kakak pada adiknya itu mencipta bahagia. Apalagi Tsaqiif melakukan
gerakan shalat, meski jauh dari sempurna. Adiknya spontan bangun, lalu
memperhatikan gerakan abangnya. Kami terpingkal, tapi sekaligus dada ini terhenyak.
Kenapa?
Tanpa kita sadari, seorang anak sering merekam,
mempraktikkan apa yang ia lihat dari orangtuanya. Ngeri juga sebenarnya.
Benarlah nasehat orangtua dulu: apabila seorang pria telah menjadi ayah, ia
harus berhati-hati dalam ucap dan sikap. Apalagi di depan buah hatinya.
Orangtua, terutama ayah, menjadi pilot project untuk anak-anaknya, wabil khusus
anak lelaki.
Saya pun jadi teringat kata-kata Ustadz Felix Yanwar
Siauw, inspirator Islami, juga mualaf yang mewakafkan dirinya untuk perjuangan
Islam. Dalam sebuah kesempatan, beliau menjelaskan kelemahan umat saat ini.
Salah satunya, sebagian besar ayah kaum Muslimin tak gemar belajar sejarah
kehebatan Islam, apalagi rutin mendongengkan buah hati. Padahal budaya dongeng
dengan tema-tema ketauhidan dan kepahlawanan Islam sangat bermanfaat dan
dibutuhkan.
Ustadz Felix mencontohkan kisah Muhammad Al Fatih,
penakluk Konstantinopel pada 1453. Sebelum menjadi pemimpin pasukan perang,
sejak kecil Al Fatih selalu ‘diinjeksi’ ayahnya tentang kehebatan Rasulullah
saw dan para sahabat. Sang ayah selalu memberi teladan yang baik. Itu
menginspirasi Al Fatih hingga menjadikannya pemimpin pasukan perang bersejarah.
“Tanamkan pada anak kita kisah-kisah heroik kepemimpinan Rasulullah, sahabat
dan para pejuang Islam,” pesan Ustadz Felix.
Kita tahu, anak itu imitator ulung. Sayangnya, energi
dan pikiran kita sering terforsir mencari nafkah. Padahal, pekerjaan besar ayah
adalah pendidik. Ia panutan bagi istri dan buah hatinya. Jika seorang ayah mengabaikan
urgensi pola pendidikan dalam keluarga, bisa fatal akibatnya.
Pendidikan paling utama adalah memberi contoh dengan
akhlak. Sementara nasehat dan budaya dongeng sebagai pendukung pengembangan
kreativitas dan daya kritis anak. Namun, itu sulit maksimal jika lisan jarang
bergerak paralel dengan akhlak. “Kekuatan terbesar umat ada di pelaksanaan
kata-kata,” pesan KH Ayyip Abbas, Pengasuh Pesantren Buntet Cirebon, pada saya.
Mengutip dari George Herbert, “Seorang ayah lebih
berharga dari 100 guru di sekolah.” Artinya, setiap ayah pasti punya potensi
besar. Begitu pula besarnya tantangan menakhodai keluarga. Duhai para ayah,
sudahkah hari ini memeriksa visi hidup?
Semoga tulisan ini bisa menyadarkan para ayah agar
lebih berhati-hati dalam ucapan maupun tindakannya sehari-hari.
sumber : Rap Al Ghifari , Jurnalis, Balikpapan