“Atas Nama Cinta Dan HAM”, Bolehkah Anak Menzinai Ibunya?

Persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, siang itu sempat menjadi ajang perenungan. Saat itu, Dr Hamid Chalid, SH, LLM sedang berdiri di sisi podium menghadap ke jajaran majelis hakim.

Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia ini bertindak sebagai ahli pemohon dalam sidang lanjutan perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016.
Selasa, 20 Dzulqa’dah 1437 H (23/08/2016) itu, Hamid menyampaikan keterangannya secara lisan dan tulisan –melalui slide yang ditampilkan dari laptopnya ke berbagai layar di ruang sidang.

Mengawali keterangannya, Hamid menayangkan diagram yang menyoroti Pasal 284, 285, dan 292 KUHP. Ketiga pasal inilah yang diujimaterikan (Judicial Review) oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia bersama sejumlah akademisi.

Dengan ketiga pasal tersebut, kata Hamid, Indonesia telah memberikan legalitas bagi perzinaan, seks bebas, pelacuran, kumpul kebo, dan homoseks di negeri ini.

Ia lantas mengungkap berbagai realitas memilukan generasi muda Indonesia saat ini. Misalnya, kata dia mengutip berita headline koran yang gambarnya ditampilkan pada sidang, kasus siswi SMK yang diperkosa oleh 11 cowok.

Kasus berikutnya, ungkap dia, pelaku homoseksual di Depok, Jawa Barat, yang membagikan kondom dan pamflet cara berhubungan jenis, mengutip artikel sebuah media online bertanggal Kamis, 5 Mei 2016.

Dampak kasus-kasus asusila seperti itu, kata Hamid, menimbulkan keresahan masyarakat yang akhirnya memilih “hukum jalanan” alias main hakim sendiri. Seperti terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur.

Dimana, ungkap Hamid berdasarkan berita sebuah media online bertanggal Jumat (15/07/2016), seorang cewek yang ketahuan melakukan mesum diarak warga dalam keadaan bugil sampai menangis.

Pengamatan hidayatullah.com, kasus berikutnya yang diungkapnya terjadi di Padang, Sumatera Barat. Diberitakan pada Kamis (21/07/2016), pasangan anak baru gede (ABG) yang melakukan mesum di toilet masjid didenda membayar 30 sak semen.

Renungan Filosofis

Dari sederet realitas memilukan itu, para hakim dan hadirin di persidangan diajak merenungkannya. Apa iya, tanya Hamid, kasus-kasus serupa itu dapat dibenarkan atas dasar kebebasan hak asasi manusia (HAM)?
Selain “peran negara yang terkesan membiarkan kasus amoral”, kebebasan HAM juga disoroti Hamid.

Diketahui bersama, kebebasan HAM kerap dijadikan dalih para pelaku dan pendukung praktik asusila, seperti perzinaan dan homoseks, untuk membenarkan perilaku dan sikap mereka.

Padahal, kata Hamid, “Atas nama cinta dan hak asasi manusia, bolehkah dan pantaskah seorang anak laki-laki menzinai ibunya sendiri?” gugahnya mencontohkan dengan intonasi penuh tekanan.

“Apakah,” lanjutnya, “atas nama kebebasan dan hak asasi, seorang bapak dapat menzinai anak perempuannya sendiri?”

Sederet pertanyaan lain pada slide berjudul “Perenungan Filosofis” yang dibacanya itu terus Hamid lontarkan:

“Senang hatikah ibu bapak sekalian, apabila melihat anak laki-laki kita yang telah menginjak dewasa berpeluk-cium bermesraan dan melakukan sodomi dengan teman laki-lakinya sesama jenis?”

“Apakah diterima oleh ibu bapak sekalian, anak kita dicabuli oleh teman sekelasnya sesama jenis?”

Seisi ruang sidang seakan larut dalam perenungan. Salah satu kuasa hukum pemohon sempat terlihat seperti menyeka air matanya. Para hakim dan hadirin yang menjawab renungan itu tentu dalam benak masing-masing.

“Jika jawaban atas semua pertanyaan di atas adalah ‘YA’,” ujar Hamid, “maka itulah saat yang pantas bagi kita untuk berdiam diri.”

“Jika jawaban atas semua pertanyaan di atas adalah ‘TIDAK’,” lanjutnya menggugah, “maka inilah saatnya Para Hakim MK Yang Mulia untuk menorehkan tinta emas sejarah untuk membenahi moral bangsa kita.”

Harapan ke MK

Para Hakim MK, yang duduk di bawah lambang negara Garuda Pancasila itu, tampak serius menyimak perenungan Hamid.

Mereka, pengamatan hidayatullah.com, berderet dari selatan ke utara, adalah Dr H Patrialis Akbar SH, MH; Prof DR Maria Farida Indrati, SH; Dr I Dewa Gede Palguna, SH, MHum; dan Dr Anwar Usman, SH, MH (Wakil Ketua).

Lalu berurutan di samping kiri Anwar yaitu Prof Dr Arief Hidayat SH, MS (Ketua); Dr Wahiduddin Adams, SH MA; Prof Dr Aswanto, SH, MSi, DFM; Dr Suhartoyo SH, MH; dan Dr Manahan MP Sitompul, SH, MHum.

Di tangan kesembilan Hakim MK itulah, atas kehendak Allah, hasil Sidang Uji Materi itu nanti diputuskan.

“Harapan tertumpu kepada MK. Apapun yang diputuskan oleh Para Hakim MK Yang Mulia, itulah tinta sejarah yang Bapak Ibu Hakim Yang Mulia torehkan, baik bagi diri sendiri, bagi MK, dan bagi bangsa ini,” ujar Hamid.

Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, memberi bimbingan dan petunjuk bagi para Hakim MK, lanjut Hamid di penghujung renungannya, “untuk meninggalkan catatan sejarah yang baik bagi negeri dan bangsa yang kita cintai ini.”

Usai itu, sekitar pukul 12.01 WIB, pada sesi diskusi Hakim Patrialis menyampaikan apresiasi kepada tiga ahli pemohon.

Selain Hamid, keduanya adalah Dr Asrorun Niam Sholeh (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI) dan Atip Latipulhayat SH, LLM, PhD (dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung).

“Saya mengapresiasi kepada para ahli yang memang ahli,” ujar Patrialis. Hakim lainnya mengabarkan jika sidang berikutnya dilangsungkan pada Selasa (30/08/2016).
[hidayatullah.com]

Subscribe to receive free email updates: