Ini membuk☵债kan kebenaran Sabda Rasulullah SAW tentang zina yang telah
disampaikan kepada umatnya 14 abad yang lalu.
إَِذا ظَهََر الِّزنَاَوالِّربَا فِْي قَْريٍَة٬ فَقَْد أََحلُّْوا بِأَْنفُِسِهْمَعَذاَب اللهِ
Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya
mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al‐Hakim,
al‐Baihaqi dan ath‐Thabrani).
l‐Hakim dalam Al‐Mustadrak ‘alâ Shahîhayn menyatakan bahwa hadis ini ia
terima berturut‐turut dari ‘Abd ash‐Shamad bin Ali al‐Bazaz, Ya’qub bin Yusuf
al‐Qazwaini, Muhammad bin Said bin Sabiq dan Amru bin Abi Qays; dari
Simak bin Harb, dari Ikrimah, dari Ibn Abbas, dari Rasulullah saw.
Al‐Hakim berkata, “Hadis ini sahih sanadnya meski al‐Bukhari dan Muslim
☵债dak mengeluarkannya.”
Al‐Baihaqi mengeluarkan hadis tersebut di dalam Syu’ab al‐îmân dari Abu
Abdillah al‐Hafizh, yang meriwayatkannya dari Abu Bakar Muhammad bin
Ishaq al‐Faqih dan dari Abd ash‐Shamad bin Ali al‐Bazaz di Baghdad.
Keduanya (Abu Bakar dan Abd ash‐Shamad) meriwayatkannya dari Ya’qub
bin Yusuf al‐Qazwayni, dari Muhammad bin Said bin Sabiq, dari Amru bin Abi
Qays, dari Simak, dari Ikrimah, dari Ibn Abbas. Hanya saja lafal ‘adzâba Allâh
digan☵债 dengan kitâb Allâh.
Adapun ath‐Thabarani mengeluarkannya dalam Mu’jam al‐Kabîr dari al‐
Husain bin al‐Abbas ar‐Razi, dari Ali bin Hasyim bin Marzuq, dari ayahnya,
dari Amru bin Abi Qays, dari Simak bin Harb, dari Said bin Jubair, dari Ibn
Abbas. Al‐Haitsami di dalam Majma’ az‐Zawâ’id 1 mengomentari riwayat
ath‐Thabarani ini, “Di dalamnya terdapat Hasyim bin Marzuq dan saya ☵债dak
mendapa☵债 seorang pun yang memaparkan biografinya, sementara para
perawi lainnya tsiqah.”
Hanya saja, Aburrahman bin Abi Ha☵债m mengatakan di dalam Jarh wa at‐
Ta’dîl2 biografi no. 442, “Hasyim bin Marzuq meriwayatkan dari Amru bin Abi
Qays. Anaknya, yaitu Ali bin Hasyim, meriwayatkan darinya. Saya (Ibn Abi
Ha☵债m) mendengar ayah saya (Abu Ha☵债m) mengatakan hal itu. Abu
Muhammad (Ibn Abi Ha☵债m) berkata, ‘Ia juga meriwayatkan dari Sufyan ats‐
Tsauri dan Abu Ja’far ar‐Razi. Meriwayatkan darinya Zakariya bin Yahya as‐
Siman dan Hajaj bin Hamzah al‐Khisyabi. Aku bertanya kepada ayahku
tentangnya dan ia berkata: tsiqah.’”
Dengan demikian, riwayat ath‐Thabarani ini diriwayatkan oleh para perawi
yang tsiqah sehingga boleh dijadikan hujjah.
Makna
Lafal zhahara (tampak) maksudnya adalah fasyâ (menyebar). Arĕnya, zina
dan riba itu telah tampak menjadi fenomena yang tersebar di tengah
masyarakat. Lafal “σ qaryah” menggunakan gaya bahasa majaz mursal,
maksudnya adalah σ ahl qaryah (di tengah penduduk kampung) dan
semisalnya seperĕ negeri ataudaerah.
Lafal “ahallû bi anfusihim ‘adzâba Allâh” menurut al‐Minawi3 maksudnya
adalah “mereka menyebabkan azab itu menimpa mereka karena
penyimpangan mereka terhadap yang diharuskan oleh hikmah Allah, yaitu
penyimpangan mereka terhadap pemeliharaan nasab dan ĕdak adanya
percampuran air (mani).”
Hadis ini menjelaskan bahwa jika zina dan riba telah menyebar di tengah
suatu masyarakat maka itu akan memancing turunnya azab Allah.
Keberkahan akan dicabut dari masyarakat yang seperĕ itu. Sebaliknya,
keburukan dan kerusakan akan terus mendera masyarakat tersebut selama
mereka ĕdak berupaya mencegah tersebarnya zina dan riba, mengubah dan
menghilangkannya dari kehidupan masyarakat.
Rusak dan kacaunya perekonomian yang berbasis sistem ribawi menjadi
bukĕ hadis di atas. Perekonomian hampir‐hampir kehilangan stabilitasnya.
Langkah perekonomian menjadi ĕdak menentu alias acak (random walk),
persis seperĕ yang digambarkan al‐Quran “bagaikan orang yang gila lantaran
kemasukan setan”.
Adapun azab karena menyebarnya zina salah satunya adalah tersebarnya
penyakit AIDS dan penyakit seksual lainnya. Selain itu, dengan maraknya
zina, nasab menjadi campur‐baur, ĕdak jelas. Nilai‐nilai dan insĕtusi keluarga
pun menjadi porak‐poranda. Berikutnya akan muncul berbagai
permasalahan di tengah masyarakat itu. Mayarakat akan menjelma menjadi
masyarakat rendah yang dipenuhi kekejian. Manusia akhirnya kehilangan
harkat dan martabat kemanusiaannya.
Islam juga dengan tegas
mengharamkan segala hal yang mendekaĕ zina dan menilainya sebagai
perbuatan keji dan jalan yang buruk. Karenanya, segala hal yang bisa
mendekatkan, menjerumuskan dan mengantarkan pada perzinaan harus
dijauhkan dari masyarakat. Pornografi dan pornoaksi diakui oleh semua bisa
berpotensi mendekatkan, menjerumuskan dan mengantarkan kepada
perzinaan. Karenanya, pornografi dan pornoaksi harus dijauhkan dari
masyarakat.
Untuk itu, Islam memerintahkan seĕap Muslim untuk melakukan amar
makruf dan nahi mungkar. Tentu saja negara (pemerintah) memiliki
tanggung jawab terbesar untuk menjauhkan semua itu dari masyarakat.
Sesuai dengan pernyataan hadis di atas, segala upaya mencegah tersebarnya
perzinaan atau menghilangkan perzinaan dari masyarakat sejaĕnya akan
menyelamatkan masyarakat. Siapa saja yang melakukan semua itu termasuk
orang‐orang yang berupaya menyelamatkan masyakarat. Sebaliknya, segala
upaya atau apapun yang bisa mendekatkan, mengantarkan atau bahkan
menjerumuskan pada perzinaan, termasuk di antaranya pornografi dan
pornoaksi, sejaĕnya membahayakan masyarakat. Tentu saja siapa saja yang
menyerukannya atau bahkan memperjuangkannya, meski dengan berbagai
alasan dan dalih, sejaĕnya justru merusak dan membahayakan masyarakat.
Bahkan itu akan membahayakan umat manusia, karena pada akhirnya akan
menyebabkan manusia umumnya justru kehilangan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Na’ûdzu billâh min dzâlik. [Yahya Abdurrahman]
sumber http://akhwat.beritaislamterbaru.org/
adalah “mereka menyebabkan azab itu menimpa mereka karena
penyimpangan mereka terhadap yang diharuskan oleh hikmah Allah, yaitu
penyimpangan mereka terhadap pemeliharaan nasab dan ĕdak adanya
percampuran air (mani).”
Hadis ini menjelaskan bahwa jika zina dan riba telah menyebar di tengah
suatu masyarakat maka itu akan memancing turunnya azab Allah.
Keberkahan akan dicabut dari masyarakat yang seperĕ itu. Sebaliknya,
keburukan dan kerusakan akan terus mendera masyarakat tersebut selama
mereka ĕdak berupaya mencegah tersebarnya zina dan riba, mengubah dan
menghilangkannya dari kehidupan masyarakat.
Rusak dan kacaunya perekonomian yang berbasis sistem ribawi menjadi
bukĕ hadis di atas. Perekonomian hampir‐hampir kehilangan stabilitasnya.
Langkah perekonomian menjadi ĕdak menentu alias acak (random walk),
persis seperĕ yang digambarkan al‐Quran “bagaikan orang yang gila lantaran
kemasukan setan”.
Adapun azab karena menyebarnya zina salah satunya adalah tersebarnya
penyakit AIDS dan penyakit seksual lainnya. Selain itu, dengan maraknya
zina, nasab menjadi campur‐baur, ĕdak jelas. Nilai‐nilai dan insĕtusi keluarga
pun menjadi porak‐poranda. Berikutnya akan muncul berbagai
permasalahan di tengah masyarakat itu. Mayarakat akan menjelma menjadi
masyarakat rendah yang dipenuhi kekejian. Manusia akhirnya kehilangan
harkat dan martabat kemanusiaannya.
Islam juga dengan tegas
mengharamkan segala hal yang mendekaĕ zina dan menilainya sebagai
perbuatan keji dan jalan yang buruk. Karenanya, segala hal yang bisa
mendekatkan, menjerumuskan dan mengantarkan pada perzinaan harus
dijauhkan dari masyarakat. Pornografi dan pornoaksi diakui oleh semua bisa
berpotensi mendekatkan, menjerumuskan dan mengantarkan kepada
perzinaan. Karenanya, pornografi dan pornoaksi harus dijauhkan dari
masyarakat.
Untuk itu, Islam memerintahkan seĕap Muslim untuk melakukan amar
makruf dan nahi mungkar. Tentu saja negara (pemerintah) memiliki
tanggung jawab terbesar untuk menjauhkan semua itu dari masyarakat.
Sesuai dengan pernyataan hadis di atas, segala upaya mencegah tersebarnya
perzinaan atau menghilangkan perzinaan dari masyarakat sejaĕnya akan
menyelamatkan masyarakat. Siapa saja yang melakukan semua itu termasuk
orang‐orang yang berupaya menyelamatkan masyakarat. Sebaliknya, segala
upaya atau apapun yang bisa mendekatkan, mengantarkan atau bahkan
menjerumuskan pada perzinaan, termasuk di antaranya pornografi dan
pornoaksi, sejaĕnya membahayakan masyarakat. Tentu saja siapa saja yang
menyerukannya atau bahkan memperjuangkannya, meski dengan berbagai
alasan dan dalih, sejaĕnya justru merusak dan membahayakan masyarakat.
Bahkan itu akan membahayakan umat manusia, karena pada akhirnya akan
menyebabkan manusia umumnya justru kehilangan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Na’ûdzu billâh min dzâlik. [Yahya Abdurrahman]
sumber http://akhwat.beritaislamterbaru.org/