Kalo dulu kita mengenal istilah Asuransi Kesehatan (Askes), sekarang
jamannya udah ganti pake BPJS kesehatan. BPJS ini merupakan progam
jaminan kesehatan dari pemerintah yang resmi beroperasi sejak 1 Januari
2014. Untuk menjadi anggota BPJS, peserta harus membayar iuran (dari 25
ribu-80 ribu) tiap bulan sesuai dengan kelasnya. Dan saat ini, BPJS udah
hampir dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.
Kemunculan BPJS ini bisa dibilang sangat berguna. Pasalnya, membantu
warga yang kurang mampu untuk memperoleh fasilitas kesehatan secara
layak. Tapi kamu juga patut waspada, karena kalo kamu enggak memahami
prosedurnya secara jeli, BPJS malah jadi merugikan.
1. Keuntungan memiliki BPJS Kesehatan
Mungkin sebagian besar dari kalian udah tau ya keuntungan jadi peserta
BPJS. tapi enggak ada salahnya kita bahas dikit. Supaya belom paham,
jadi lebih paham lagi.
Jadi keuntungan memiliki BPJS, itu:
Kamu enggak perlu ngeluarin duit kalo berobat ke puskesmas atau dokter tempat kamu mendaftarkan diri jadi peserta BPJS.
Jika penyakitmu cenderung parah, dokter/puskesmas akan memberikan surat
rujukan ke rumah sakit terdekat. Sehingga kamu bisa diobati sampai
sembuh.
Kalau kamu terpaksa dirawat inap di rumah sakit, maka sebagian atau seluruh biaya di rumah sakit ditanggung BPJS Kesehatan.
Jika kita harus dioperasi maka BPJS Kesehatan akan menanggung sebagian atau seluruh biaya operasi. Baca juga,
2. Dalam prakteknya, banyak pasien yang menggunakan rujukan BPJS dari puskesmas untuk berobat ke Rumah Sakit
Jujur aja ya, sekarang ini banyak banget orang yang gunain rujukan BPJS
buat berobat ke rumah sakit. Padahal sakitnya cuma pilek, tapi enggak
mau diobati di puskesmas. Penginnya ke rumah sakit, biar ditangani
dokter ahli.
Sebenarnya hal ini enggak dibolehin sama pemerintah. Apabila penyakit
itu masih tergolong tidak berbahaya, cukup diatasi di puskesmas saja.
Tapi ya namanya orang Indonesia sukanya ngenyel. Alhasil puskesmas pun
dijadikan tempat buat minta rujukan semata.
3. "APS" , Tiga huruf yang harus diwaspadai dalam rujukan BPJS Kesehatan
Baru-baru ini, salah satu dokter menshare sebuah info yang cukup penting
terkait rujukan BPJS. Ia mendapati "info penting" ini saat menangani
salah satu pasiennya, yaitu seorang ibuk-ibuk berusia 60 tahun.
"Dok, saya minta dironsen, periksa kolesterol, asam urat, periksa jantung dan sekalian konsul ke dokter mata karena kabur," ucap ibuk tersebut sambil nunjukin surat rujukan dari Puskemas.
Menurut si dokter, puskesmas tersebut memiliki fasilitas yang cukup
lengkap dan dokter umum yang cukup senior. Namun entah mengapa, ibuk ini
lebih memilih ke RS.
"Lho, kenapa ibu tidak dicetakkan surat eligibilitasnya, SEP?"
Padahal tanpa SEP, biasanya si pasien akan disertakan status pasien baru, resep kosong biasa, bukan resep khusus BPJS.
"Saya juga tidak mengerti, dok. Kata petugas pendaftaran di depan saya harus bayar biasa, karena rujukan saya ada masalah."
Coba dokter buat pemeriksaan yang lengkap dahululah, nanti saya urus rujukannya belakangan," si ibuk jadi makin kesal.
Nah karena kasihan si ibu harus bayar semua pemeriksaan sampai ratusan
ribu, akhirnya bapak dokter tadi bertanya ke bagian pendaftaran.
Menanyakan masalahnya.
"Di surat diagnosisnya ada tambahan 'APS', dok. Artinya si pasien
dianggap bisa diobati di PUSKESMAS, namun dia meminta sendiri ke rumah
sakit, kasarnya memaksa minta rujukan. Jadi harus bayar sendiri," jawab si petugas.
Si pasien pun diberikan obat generik untuk 3-5 hari dan disarankan minta
rujukan baru dengan wanti-wanti tanpa 3 huruf berbahaya tadi:A-P-S
(atas permintaan sendiri).
4. "APS" sedang jadi tren di tahun ini, kamu patut waspada!!
Intinya gaes, kamu harus waspada jika meminta rujukan BPJS di puskesmas.
Amati tiap kata di surat rujukanmu, sedetail-detailnya. Jangan sampe
kamu enggak tau kalo tertulis "APS" disana. Bisa-bisa kamu harus
ngeluarin duit banyak di rumah sakit.
Di lain pihak, petugas pendaftaran di rumah sakit pun juga harus jeli
melihat kode-kode atau huruf-huruf yang terlihat sederhana. Sebab kalo
sampe 'bablas' , bisa beresiko merugikan institusinya ratusan ribu
sampai jutaan rupiah.
Untuk itu, baik pasien maupun fasilitas kesehatan primer sebaiknya
saling berkomunikasi. Bila penyakitnya sederhana, namun si pasien ngotot
minta berobat ke spesialis, maka mereka harus rela berobat secara APS.
Karena sistem BPJS hanya melihat diagnosisnya, bukan kebiasaan berobat
si pasien sebelumnya.
[tribunsalam]