Setiap norma hukum memang diciptakan utk memberi kepastian hukum, namun harus memperhatikan keadilan dan kemanfaatan juga.
Sudah pasti tantangan bagi UKM yang tumbuh adalah compliance
(ketaatan) terhadap peraturan mengikuti laju pertumbuhannya. Namun
pemerintah juga harus memperhatikan pertumbuhan UKM juga butuh
pembinaan. Mereka yang berusaha patuh jangan malah dibunuh karena
ketidakberdayaan mereka.
Case yang dihadapi sahabat saya
Mas Lutfiel Hakim ini adalah bukti nyata. bukan hanya kepentingan
bisnisnya yg diperhatikan, keamanan dan kenyamanan konsumen juga jadi
prioritasnya, terbukti dari serangkaian pemeriksaan lab dan uji proses
yg sudah dilaluinya. Namun ketika ada kendala administrasi sudah diberi
“presure” sanksi pidana.
Sesuai asasnya, pemidanaan adalah
ultimum remidium (upaya terakhir). Jika problemnya adalah persoalan
administratif (perizinan), maka agar lebih bijak menyikapinya dan
memberikan pembinaan.
Saat dinilai bisnisnya sudah tidak lagi
berbasis izin PIRT dan harus mengurus izin edar BPOM, maka perlu waktu
bagi pelaku usahanya dalam masa transisi ini. Effortnya bukan tidak
dilakukan, namun sekali lagi kendala timbul krn oknum birokrasi juga.
Sering UKM mengeluhkan ke saya karena
pengurusan legalitas yang mahal, panjang dan berbelit. Sehingga kadang
menyurutkan langkah mereka ketika sedang tumbuh.
Ini saat yang tepat, Mari kita berjalan
bersama, saling mendukung menuju transparansi perizinan, pemerintahan
bersih. Kemudahan perizinan diberikan kepada investor asing, sudah
selayaknya UKM yang menjadi backbone perekonomian negara juga mendapatkan perlakuan serupa.
Memanggil semua sahabat penegak hukum dan pejuang UKM untuk merapatkan barisan.
Mohon izin saya cc: Jaya Setiabudi Dewi Meisari Ali Imron Iwan Agustian Iwan Kurniawan Ahmad Baidillah Thariq Barra
#UKMMelekhukum #Advokasi #Perjuangan
Berikut kisah Perjuangan UKM Mas Lutfiel Hakim dalam membangun bisnis dan brand Brand Bebiluck nya.
SEJARAH KAMI ADALAH SEJARAH CINTA IBU KEPADA ANAKNYA
(Oleh : Lutfiel Hakim)
Adakah seseorang yang mencintai tega
menyakiti yang dicintainya? Tidak ada. Seorang Ibu tetaplah memberikan
cinta kepada anaknya, takkan lebih dari itu.
Pertengahan 2009, boleh jadi merupakan
awal terindah bagi istri saya memberikan Makanan Pendamping ASI pertama
untuk anak kembar kami. Sekedar seorang ibu yang ingin memberi makanan
pertama terbaik bagi anak2 pertamanya. Dengan informasi secukupnya,
mulailah memasak dan hasilnya : super lahap. Cerita berlanjut karena
anak tetangga kami yang tadinya tidak doyan makan, menjadi doyan makan
setelah mencoba makan bubur bayi home made kami. Tentunya kebahagiaan seorang ibu sebagaimana lainnya, melihat anak-anak terbantu karena makanan bayi rumahan ini.
Singkat kata waktu berubah, permintaan
untuk makanan bayi dari teman2 meningkat, yang akhirnya memunculkan ide
untuk melayani mereka secara lebih baik dengan : membuka lapak.
Dua tahun setelahnya, kami memutuskan
untuk membuat kemitraan yang disambut dengan antusias karena bahan-bahan
yang memang kami pastikan yang terbaik.
Jika ada satu kekhawatiran, adalah
makanan bayi yang sangat berisiko tinggi. Maklum, makanan bayi bukan
sembarang makanan. Background kami yang bukan pangan membuat kami harus
terus berfikir keras menangani ini. Akhirnya, hanya setahun setelah
membuka kemitraan kami pun :
- Membuka CV untuk penerbitan SIUP
- Berkonsultasi dengan DinKes dan mendapatkan izin DinKes PIRT
- Melakukan uji lab DinKes, lolos, bubur bayi kami aman saat itu
Belum puas dengan izin-izin tadi, kami akhirnya menambah keyakinan dengan :
- Merekrut ahli pangan yang 25 tahun pengalaman. Sungguh tidak mudah karena pengalamannya membuat kami harus mengeluarkan budget yang tidak sedikit.
- Mengganti badan usaha menjadi PT untuk persiapan izin POM
- Melakukan uji lab pro untuk kandungan pangan, yaitu dari TUV NORD
- Mengajukan dan mendapatkan sertifikat halal LPPOM MUI
- Melakukan uji mikroba dan cemaran produk di lab TUV Nord, hasilnya produk kami aman.
Hingga suatu hari datanglah peringatan dari BPOM untuk mengurus izin BPOM.
Sebagai usaha level UKM yang baru hendak
tumbuh, kami pun timbangkan masak2. Lokasi kami di perkampungan dan
harus pindah ke kawasan industri untuk mempermudah izin POM. Dengan
segala daya upaya, membayar sewa 5x lipat dari sewa lahan di kampung,
kami pun pindah, cashflow mulai goyah. Tapi kami tetap fokus, ada satu tujuan : izin POM.
Tepat april 2016 kami mulai berproses
pengajuan izin POM dengan niat tulus supaya memberikan rasa paling aman
untuk semua pelanggan. Untuk pengajuan izin POM, kami lebih dulu ke BPOM
pusat mendaftar dan ternyata harus memenuhi syarat : Izin Usaha
Industri dari pemkot setempat. Cerita dimulai..
Izin Amdal, harusnya selesasi seminggu, jadi sebulan dua bulan
Izin HO, harusnya selesai seminggu, jadi
sebulan dua bulan. Bahkan pernah tidak jadi ambil kertas HO yang sudah
ditandantangani, hanya karena BLANKO HABIS. Luar biasa.
Seseorang menawarkan sekian belas juta untuk izin2 ini. Luar biasa lagi.
Terakhir adalah Izin Usaha Industri,
sedianya jumat 9 september pekan lalu sudah keluar, senin rencana
langsung ke BPOM Serang mendaftar, tapi tak kunjung keluar, dijanjikan
selasa 14 September kemarin, rabunya hendak mendaftar, tapi tak kunjung
keluar…..
Dan batal lah semuanya hanya karena birokrasi yang berbelit – belit…..
Bina Kami Pak, Jangan Bunuh Kami
Manusia berencana, Tuhan yang
berkehendak. Dalam langkah optimis pengurusan izin BPOM, menunggu Izin
Usaha Industri yang sudah 5 bulan kami tunggu (normalnya kurang lebih 1
bulan paling lama sesuai prosedur), datanglah hari itu. Hari
penghakiman.
Turun sebuah team dari BPOM Serang
lengkap dengan juru kamera dan semua media televisi, bersiap mengungkap
sebuah berita kecil dari orang kecil dengan tema : makanan bayi ilegal.
Produk kami yang nyata2 di konsumen selama ini aman, divonis berat :
penyebab diare karena bakteri. Padahal untuk membuktikannya, harus
dilakukan uji lab yang mana kami sudah antisipasi sedari dulu. Pun, sang
juru warta baru bertanya resiko apa, tanpa ada bukti.
Juru berita – juru berita yang di tengah jalan menunjukkan angka2 ajaib supaya berita tak dimuat. Saya tidak kuat.
Shock, frustasi, kecewa, marah, kesal, bercampur baur.
“Produk bapak tidak memiliki izin edar” Ujarnya singkat.
Saya cuma terdiam, dalam proses
pengurusan izin yang begitu lama dan berbelit-belit, kami yang melakukan
semua upaya (termasuk menghindari suap) akhirnya menjadi tertuduh
administratif : mengedarkan barang tak berizin.
Iya, kami lalai, izin PIRT kami juga
dicabut seiring perpindahaan domisili ke Tangerang Selatan (bukan karena
kesalahan atau temuan) dan sehari kemudian kami langsung ke Dinkes Kota
Tangsel untuk mengurus PIRT baru, sampai beliau-beliau di sana
mengarahkan : produk bayi haruslah Izin POM. Kami sepakat, kami manut,
walau tak menyangka prosesnya begitu lama.
Pak Bu, saya tidak bisa bicara apapun
saat ini selain mengetuk pintu hati Bapak Ibu berwenang.
Kesewenang-wenangan ternyata bisa melahirkan bencana bagi orang lain.
Lambatnya proses pengurusan Izin Usaha
Industri sebagai syarat pengurusan izin POM (hampir 1/2 tahun), membuat
kami terpaksa terkena efek sidak dan pemberitaan tidak obyektif.
Hukum adalah hukum, tapi nurani haruslah
tetap hidup. Anak bangsa seperti kami hanya ingin berkarya, sekecil
yang kami bisa, dengan sayur mayur dan ikan dalam negeri, sekedar
menghidup kami dan beberapa puluh karyawan dan keluarganya.
Bina kami Pak jika salah, jangan bunuh kami…
(End)
PS : Saat ini, demi mentaati aturan dan
prosedur, produksi kami hentikan sampai izin POM kami mendapatkan
kejelasan kapan keluarnya. Selaku pimpinan, saya akan lakukan semua
upaya yang menurut kami sah untuk mendapatkan hak kami sebagai warga
negara.
Silahkan dishare kisah ini sebagai bentuk support terhadap UKM Indonesia.