Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du!
Ta’aruf
dan pacaran jelas berbeda. Islam menganjurkan ta’aruf (perkenalan) dan
mengharamkan pacaran (dalam Islam, tidak mengenal istilah pacaran, hanya
mengenal ta’aruf). Dengan ta’aruf, kita meluruskan niat untuk
menjemput jodoh kita dengan cara yang diridhoi Allah, dengan syarat
taaruf sebaiknya baru dilakukan ketika kita siap dan tidak ada keraguan
untuk menunda-nunda menikah.
Aktivitas
ta’aruf menjaga batasan hubungan interaksi antara laki-laki dan
perempuan, seperti menjaga pandangan, tidak berkhalwat (berduaan dengan
lawan jenis yang bukan mahromnya), tidak berpegangan tangan apalagi
aktivitas yang lebih jauh dari itu.
Dalam proses taaruf sangat memuliakan dan menghormati kaum wanita begitu juga dengan kaum laki-laki agar lebih bisa menjaga nafsunya.
Dalam proses taaruf sangat memuliakan dan menghormati kaum wanita begitu juga dengan kaum laki-laki agar lebih bisa menjaga nafsunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما “Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara …
Sementara
pacaran diartikan sebagai suatu jalinan cinta antara dua orang yang
berbeda jenis dan bukan mahrom. Aktivitas pacaran tidak ada yang
mengatur batasannya. Aktivitas pacaran yang sering kita jumpai saat ini
adalah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom berjalan
berduaan, bertatapan tanpa menundukkan pandangan, bermesraan, pegangan
tangan, bahkan aktivitas yang lebih jauh dari itu. Hal ini jelas
merugikan kaum wanita, kehormatan wanita tidak lagi terjaga, begitu juga
dengan kaum laki-laki, mereka juga dirugikan karena mereka akan sulit
untuk mengendalikan nafsunya. Dalam pacaran, janji menikah hanyalah
sekedar janji, belum dipastikan apakah dia akan menikah dengan kita atau
tidak, karena pada dasarnya pacaran tujuannya berbeda. Tidak ada yang
bertanggung jawab ketika hubungan putus ditengah jalan setelah
pengorbanan diri telah banyak dilakukan, dan disitulah pada akhirnya
tujuan menikah dipertanyakan. “katanya mau nikah kok putus, setelah
begitu banyak pengorbanan perasaan, cinta, dan harga diri wanita dan
pria” kalau tujuan memang menikah, tentunya tidak ada yang mengambang,
begitupun kepastian menikah.
Sedangkan ta’aruf sendiri jelas sekali dari awal, yaitu menikah (kalau ta’aruf gagal, yang tidak jadi masalah karena tujuannya jelas bukan untuk pacaran tapi menikah, dan prosesnyapun jelas). Bahkan unsur logis sangat diprioritasi diawal (tidak memprioritasin perasaan dulu).
Kenapa harus logis, karena demi mendapatkan jodoh yang benar-benar kita
inginkan dan Allah inginkan. Contohnya, seputar ibadahnya, visinya
menikah, apa arti seorang suami ataupun istri bagi dia, apa arti seorang
ayah dan ibu baginya, asal usul keluarganya, dan lainnya dimana ini
akan mendukung kita terhadap siapa jodoh yang tepat bagi kita yang layak
untuk jadi pendamping kita sampai ke surga nanti. Bayangkan saja ya,
melamar kerja saja harus melewati serangkaian tes kelayakan, apalagi
calon pendamping kita, tentu harus sangat sesuai dengan apa yang kita
mau, Allah mau.
Bayangkan kalau itu semua diawali dengan
perasaan, tentu pertanyaan-pertanyaan yang penting bagi kita itu akan
tertutupi. Kita akan terbuai oleh perasaan yang akan menutupi akal sehat
kita dan akhirnya terjerumus dengan hal-hal yang tak diridhoi oleh
Allah. Berkhalwat (berduan) saja tidak boleh, apalagi lebih.
Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang). [Al Israa`: 32].
Melalui
penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa proses yang baik dan in
sya Allah diridhoi Allah untuk menjemput jodoh kita hanyalah melalui
taaruf bukan melalui pacaran, walaupun pacaran tersebut diniatkan untuk
saling mengenal sebelum akhirnya menikah,
[arrahma.co.id]